Selasa, 08 September 2015

sinopsis dan review film selma



Sinopsis film selma
Kisah Dr. Martin Luther King, Jr., seorang pejuang hak asasi manusia dari amerika serikat. Pada masa pemerintahan Presiden Lyndon B. Johnson terjadi berbagai aksi kekerasan terhadap orang kulit hitam .Dengan gigih dia memperjuangkan persamaan hak orang kulit hitam terhadap orang kulit putih. aksi martin luther king dan para demonstran dilakukan dari selma ke montgomery. Dan pidatonya yang terkenal adalah “I Have a Dream”

Review film selma
Menurut saya kelebihan dari film selma yaitu menceritakan sejarah tentang memperjuang kan hak asasi manusia   Martin luther king  berani dalam memeperjuangkan hak hak orang kulit hitam dan menghentikan tindakan kekerasan terhadap orang kulit hitam.

Kekurangan film selma menurut saya yaitu  ceritanya kurang menarik.

Pengajaran yang di dapat
Agar kita tidak membeda-bedakan orang lain karena keturunan atau perbedaan warna kulit, tetapi kita harus saling mengasihi dan berteman dengan semua orang.


Senin, 23 Februari 2015

sejarah situs gunung padang

situs Gunung Padang merupakan punden bangunan berundak peninggalan jaman prasejarah. Situs ini merupakan salah satu situs megalitik terbesar di Asia Tenggara. Situs terletak di puncak bukit yang dikelilingi oleh lembah-lembah dan perbukitan. Di sebelah tenggara terdapat Gunung Melati, di sebelah barat daya terdapat Pasir Empat dan Gunung Karuhun, di sebelah barat laut terdapat Pasir Pogor dan Pasir Gombong, dan di sebelah timur laut terdapat Pasir Malang.
Saksikan situs punden berundak ini yang terbagi menjadi 5 teras mengerucut dan dibangun dengan batuan vulkanik alami yang berbentuk persegi panjang. Teras pertama merupakan teras terbawah dan terluas berdenah segi empat. Pada jalan menuju teras pertama terdapat beberapa batu tegak di kiri kanan jalan. Di depan pintu ini terdapat susunan batu berdenah segi empat dan beberapa menhir serta adanya batu lumpang di sudut timur laut. Di teras kedua tedapat batu-batu tegak berukuran besar. Di teras ketiga terdapat lima kelompok bangunan yang sebagian besar berupa kelompok batu tegak. Sebagian dari batu-batu tersebut telah roboh. Di teras terdapat balok-balok batu pada bagian tengah dan tiga bangunan di bagian timur laut. Bagian barat daya teras ini berupa tanah kosong. Teras kelima merupakan bagian paling atas dari situs ini. Pada bagian ini terdapat susunan batu tegak yang membentuk ruang segi empat. Terdapat juga tinggalan lainnya berupa tumpukan monolit. Anda akan melihat bahwa situs ini unik dari sisi visual.



Lokasi: Desa karyamukti, Kecamatan Campaka

----------
Situs Megalitik Gunung Padang”. Situs Gunung Padang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Konon, menurut para ahli arkeologi, situs ini merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara.

Untuk menuju Situs Gunung Padang, terdapat dua alternatif jalan. Alternatif pertama adalah jalan utama, mendaki sekitar 370 anak tangga dengan kemiringan yang cukup tajam, hampir 40 derajat. Alternatif kedua adalah mendaki sekitar 500 anak tangga dengan kemiringan yang lebih landai. 

alan masuk Situs Gunung Padang, di sisi kiri terdapat anak-anak tangga menuju situs

Satu per satu anak tangga kami daki. Anak-anak tangga ini disusun dari batu-batu berbentuk kolom poligonal yang dipasang melintang. Dengan sedikit terengah-engah, akhirnya 15 menit kemudian, kami tiba di Situs Gunung Padang. Woww…!! Pemandangan di depan dan ke belakang betul-betul menakjubkan!

Kami berada di puncak tertinggai dan saya membayangkan saya berada di pertemuan dengan para Raja-raja Pajaran.dan ada keanehan disekitar batu-batu yang berserekan,saya seperti ada yang menuntun dan menemukan batu tapak Kujang dan Batu tapak macan.subhanallah luar biasa.bukan tipuan dan bukan sihir.adanya

Situs Gunung Padang ini terdiri dari lima pelataran (bisa juga menjadi 7 pelataran jika bagian-bagian tertentu di bawahnya dianggap sebagi pelataran). Masing-masing pelataran berada lebih tinggi sekitar 50-cm dari pelataran sebelumnya.

Pelataran pertama adalah pelataran dengan gerbang kecil yang terbentuk oleh kolom-kolom batu yang berdiri berhadapan. Pada pelataran pertama ini terdapat batu-batu berwarna abu-abu berbentuk kolom yang masih tersusun rapi membentuk ruang persegi panjang. Batu-batuan di Gunung Padang adalah batuan jenis andesit basaltis yang merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala pada jaman Pleistosen Awal, sekitar 2 – 1 juta tahun yang lalu. Karena pengaruh proses alam, batu-batuan ini membentuk dirinya menjadi kolom-kolom poligonal segi empat, lima, enam, delapan, yang permukaannya sangat halus sehingga banyak orang yang mengira batu-batuan ini merupakan hasil karya tangan manusia jaman dahulu.

Pelataran pertama Situs Gunung Padang

Arsitek megalitik yang diperkirakan hidup sekitar 6000 tahun yang lalu, menyusun kolom-kolom batu tersebut menjadi sebuah bangunan berundak-undak yang sangat indah. Sayangnya, letak batu-batuan tersebut saat ini sudah banyak yang tidak beraturan, tergeletak begitu saja. Menurut Pak Dadi, petugas di situs Gunung padang, sebelum dianggap memiliki nilai budaya yang tinggi, Gunung Padang merupakan sumber kayu bagi para pencari kayu. Banyak pohon-pohon besar yang tumbuh di sini dan ditebang oleh para pencari kayu. Selain itu, Gunung Padang juga pernah dimanfaatkan sebagai ladang oleh masyarakat sekitar. Penebangan dan pengangkutan pohon serta perladangan lah yang mengubah posisi bebatuan dari posisi aslinya. Untungnya, masih terdapat beberapa batuan yang tersusun rapi pada posisi aslinya sehingga nilai-nilai budayanya tidak hilang begitu saja.

Pada pelataran pertama, terdapat batu berbentuk poligon yang disebut batu gamelan. Konon, pada jaman dahulu, dari arah Gunung Padang ini kerap terdengar bunyi-bunyi gamelan setiap malam Selasa dan malam Jumat. Sampai saat ini bunyi gamelan ini sesekali saja terdengar, dikalahkan oleh bunyi-bunyi dari sumber-sumber suara lain yang lebih modern, seperti TV, radio, maupun kendaraan bermotor. Salah satu petugas yang mengantar kami, memainkan batu gamelan tersebut, terdengarlah alunan musik tradisional Sunda dari pukulan-pukulan batu kecil pada batu gamelan. Para seniman tradisional Sunda, seperti pesinden, dalang, konon sering melakukan doa di sini sebelum melakukan pertunjukan.



Kalau merujuk pada sejarah Jawa Barat, Gunung Padang ini diperkirakan merupakan salah satu kebuyutan yang ditemukan oleh seorang pangeran Kerajaan Sunda yang berkelana menjelajahi tempat-tempat keramat di Pulau Jawa dan Bali pada sekitar abad ke-15. Konon, tujuan perjalanannya adalah untuk meningkatkan ilmu yang dimilikinya.

Pangeran ini adalah pangeran yang mendapat julukan Bujangga Manik. Dari perjalanannya, Bujangga Manik berhasil mencatat sekitar 450 nama geografis yang sebagian besar masih dapat dikenali sampai saat ini. Catatan dalam lembar-lembar daun lontar tersebut sekarang tersimpang di Museum Bodleian, Oxford, Inggris. Dari catatan tersebut diketahui bahwa Bujangga Manik pernah melakukan persiapan untuk perjalanan spiritualnya ke Nirwana di suatu tempat kebuyutan yang ditemukannya di hulu Sungai Cisokan, Cianjur. Walaupun belum ada kepastian di mana kebuyutan di hulu Sungai Cisokan yang disebut oleh Bujangga Manik, tetapi satu-satunya tempat kebuyutan yang ada di hulu Sungai Cisokan – Cikondang, Cianjur adalah Gunung Padang.

Nampaknya, masih banyak cerita bernilai tinggi yang dapat digali dari Situs Gunung Padang. Ini tentu saja membutuhkan dukungan para peneliti arkeologi maupun sejarah. Potensi arkeologi, sejarah, maupun geologi Gunung Padang yang masih belum digali secara optimal ini merupakan kekayaan alam dan budaya yang sangat tinggi bagi Cianjur, dan bahkan bagi Indonesia.

Sejarah angklung

angklung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.

Sejarah Angklung
Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.

Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.

Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).

Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya.

Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.

Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.

Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena — tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Rabu, 07 Januari 2015

ASAL MULA KOTA CIANJUR

CERITA DARI JAWA BARAT ASAL MULA KOTA CIANJUR

07/01/2015
Pada zaman dahulu di daerah Jawa Barat ada seorang lelaki yang sangat kaya. Seluruh sawah dan ladang di desanya menjadi miliknya. Penduduk desa itu akhirnya hanya menjadi buruh tani di sawah dan ladang lelaki kaya itu. Orang kaya tadi dijuluki Pak Kikir oleh orang-orang sedesa.
Ia mempunyai seorang putra lelaki. Bahkan terhadap anak tunggalnya Pak Kikir juga berlaku pelit. Namun demikian anaknya berwatak baik. Tanpa sepengetahuan ayahnya, dia sering membantu tetangganya yang kesusahan.
Pada suatu hari, Pak Kikir harus mengadakan pesta syukuran. Menurut anggapan penduduk, jika pesta dilaksanakan dengan baik maka hasil panen akan melimpah. Takut jika panen berikutnya gagal, Pak Kikir terpaksa mengadakan pesta selamatan. Semua penduduk desa diundang oleh Pak Kikir. Para penduduk mengira akan mendapat mekanan yang enak-enak dalam selamatan itu. Perkiraan mereka ternyata meleset. Pak Kikir hanya menyediakan makanan dengan lauk-pauk sederhana. Itu pun tidak cukup untuk menjamu semua penduduk. Banyak di antara warga desa yang tidak mendapat makanan.
Mereka akhirnya hanya bisa mengelus dada atas sikap Pak Kikir yang benar-benar pelit itu.
“Huh! Sudah berani mengundang orang ternyata tak dapat menyediakan makanan, sungguh keterlaluan, buat apa hartanya yang segudang itu.”
“Tuhan tidak akan memberikan berkah pada hartanya yang banyak itu.”
Demikianlah, pergunjingan dan sumpah serapah dari orang-orang miskin mewarnai pesta selamatan yang diadakan Pak Kikir.
Pada saat pesta selamatan berlangsung, datanglah seorang nenek tua minta sedekah pada Pak Kikir.
“Tuan, berilah saya sedekah, walau hanya dengan sesuap nasi…”, rintih nenek itu.
“Apa? Sedekah? Kau kira untuk menanak nasi tidak diperlukan jerih payah, hah?”
“Berilah saya sedikit saja dari harta Tuan yang berlimpah ruah itu…”
“Tidak! Cepat pergi dari sini, kalau tidak aku akan menyuruh tukang pukulku untuk menghajarmu!”
Nenek tua itu nampak mengeluarkan air mata.
Demikianlah nenek tua itu tidak diberi sedekah justru diusir dengan kasar oleh Pak Kikir. Tak dapat dibayangkan betapa sedihnya nenek itu. Dia segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir. Sementara putra Pak Kikir sedih melihat kejadian itu. Diam-diamdia mengambil jatah makan siangnya lalu dikejarnya nenek tua yang sudah sampai di ujung desa, ia berikan makanan itu kepada si nenek pengemis.
Sepasang mata nenek itu berbinar senang. Ia mengucapkan terima kasih, sambil berdoa, “Sungguh baik engkau Nak. Semoga kelak hidupmu menjadi mulia.”
Nenek itu segera melahap makanan pemberian putra Pak Kikir hingga habis.
“Maaf ya Nek, saya harus segera kembali ke rumah.”
“Baik Nak, sekali lagi kuucapkan terima kasih atas kebaikanmu ini.”, ujar si nenek tua.
Setelah si anak muda itu pergi, si nenek tua melanjutkan perjalanannya. Sampai di sebuah bukit dekat desa, dia berhenti sejenak. Dari atas bukit itu dilihatnya rumah Pak Kikir adalah yang paling besar dan bagus di desa itu. Sementara penduduk sekitarnya menderita karena ketamakan Pak Pelit.
Nenek pengemis itu marah, melihat kelakuan Pak Kikir. Ia berkata, “Ingat-ingatlah Pak Kikir keserakahan dan kekikiranmu akan menenggelamkan dirimu sendiri. Tuhan akan menimpakan hukuman kepadamu”.
Itulah doa si nenek tua, nenek yang telah disia-siakan oleh Pak Kikir.
Nenek tua itu lalu menancapkan tongkatnya ke tanah. Lalu dicabutnya lagi. Dari lubang bekas tancapan itu memancar air yang sangat deras. Makin lama air itu makin banyak dan mengalir menuju desa.
“Banjir!”
“Banjir!”. Teriak beberapa orang desa yang sempat melihat lebih dulu air bah itu dari atas bukit.
Penduduk desa lainnya menjadi panik melihat air bah itu.
Anak Pak Kikir segera menganjurkan para penduduk lainnya agar meninggalkan rumah mereka.
“Cepat tinggalkan desa ini, larilah kalian ke atas bukit yang aman.”
“Tapi sawah dan ternak kita?”
“Kalian harus pilih harta atau jiwa? Sudah tidak ada waktu untuk membawa harta kalian!”
Watak manusia memang sangat menyukai harta bendanya, dalam keadaan yang kritis itu masih ada saja orang yang tetap bermaksud membawa harta dan ternak mereka.
Padahal air banjir yang datang semakin besar, bahkan rumah mereka sudah terendam air setinggi lutut.
Anak Pak Kikir yang bijak itu masih terus berteriak-teriak mengingatkan penduduk desa. Ia juga membujuk ayahnya agar segera keluar dari rumah.
“Ayah, cepat tinggalkan rumah ini, kita harus segera menyelamatkan diri!”
“Apa? Lari begitu saja? Tolol! Aku harus mengambil peti hartaku yang kusaimpan di ruang bawah tanah.”
Karena tak ada waktu lagi, maka putra Pak Kikir segera berlari menyelamatkan diri. Sementara Pak Kikir masih terus mengumpulkan harta bendanya. Dia terlambat menyelamatkan diri, akhirnya tenggelam dalam arus air bah.
Sebagian besar penduduk desa dan putra Pak Kikir selamat. Mereka sedih melihat desanya tenggelam. Kemudian mereka memutuskan untuk mencari daerah baru. Mereka mengangkat putra Pak Kikir sebagai pemimpin desa baru mereka.
Putra Pak Kikir lalu menganjurkan penduduk untuk mengolah tanah yang telah dibagi rata. Pimpinan desa baru itu mengajari penduduk menanam padi dan bagaimana mengairi sawah secara baik. Desa itu kemudian disebut desa Anjuran, penduduk desa selalu mematuhi anjuran pimpinannya. Lama-kelamaan desa itu berkembang menjadi kota kecil yang disebut Cianjur. Ci berarti air. Cianjur berarti daerah yang cukup mengandung air. Anjuran pemimpin desa dijadikan pedoman para petani dalam megolah sawah. Maka hingga sekarang ini beras Cianjur dikenal enak dan gurih.