CERITA DARI JAWA BARAT ASAL MULA KOTA CIANJUR
07/01/2015
Pada zaman dahulu di daerah Jawa Barat ada seorang lelaki yang sangat kaya. Seluruh sawah dan ladang di desanya menjadi miliknya. Penduduk desa itu akhirnya hanya menjadi buruh tani di sawah dan ladang lelaki kaya itu. Orang kaya tadi dijuluki Pak Kikir oleh orang-orang sedesa.
Ia mempunyai seorang putra lelaki. Bahkan terhadap anak tunggalnya Pak Kikir juga berlaku pelit. Namun demikian anaknya berwatak baik. Tanpa sepengetahuan ayahnya, dia sering membantu tetangganya yang kesusahan.
Pada suatu hari, Pak Kikir harus mengadakan pesta syukuran. Menurut anggapan penduduk, jika pesta dilaksanakan dengan baik maka hasil panen akan melimpah. Takut jika panen berikutnya gagal, Pak Kikir terpaksa mengadakan pesta selamatan. Semua penduduk desa diundang oleh Pak Kikir. Para penduduk mengira akan mendapat mekanan yang enak-enak dalam selamatan itu. Perkiraan mereka ternyata meleset. Pak Kikir hanya menyediakan makanan dengan lauk-pauk sederhana. Itu pun tidak cukup untuk menjamu semua penduduk. Banyak di antara warga desa yang tidak mendapat makanan.
Mereka akhirnya hanya bisa mengelus dada atas sikap Pak Kikir yang benar-benar pelit itu.
“Huh! Sudah berani mengundang orang ternyata tak dapat menyediakan makanan, sungguh keterlaluan, buat apa hartanya yang segudang itu.”
“Tuhan tidak akan memberikan berkah pada hartanya yang banyak itu.”
Demikianlah, pergunjingan dan sumpah serapah dari orang-orang miskin mewarnai pesta selamatan yang diadakan Pak Kikir.
Pada saat pesta selamatan berlangsung, datanglah seorang nenek tua minta sedekah pada Pak Kikir.
“Tuan, berilah saya sedekah, walau hanya dengan sesuap nasi…”, rintih nenek itu.
“Apa? Sedekah? Kau kira untuk menanak nasi tidak diperlukan jerih payah, hah?”
“Berilah saya sedikit saja dari harta Tuan yang berlimpah ruah itu…”
“Tidak! Cepat pergi dari sini, kalau tidak aku akan menyuruh tukang pukulku untuk menghajarmu!”
Nenek tua itu nampak mengeluarkan air mata.
Demikianlah nenek tua itu tidak diberi sedekah justru diusir dengan kasar oleh Pak Kikir. Tak dapat dibayangkan betapa sedihnya nenek itu. Dia segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir. Sementara putra Pak Kikir sedih melihat kejadian itu. Diam-diamdia mengambil jatah makan siangnya lalu dikejarnya nenek tua yang sudah sampai di ujung desa, ia berikan makanan itu kepada si nenek pengemis.
Sepasang mata nenek itu berbinar senang. Ia mengucapkan terima kasih, sambil berdoa, “Sungguh baik engkau Nak. Semoga kelak hidupmu menjadi mulia.”
Nenek itu segera melahap makanan pemberian putra Pak Kikir hingga habis.
“Maaf ya Nek, saya harus segera kembali ke rumah.”
“Baik Nak, sekali lagi kuucapkan terima kasih atas kebaikanmu ini.”, ujar si nenek tua.
Setelah si anak muda itu pergi, si nenek tua melanjutkan perjalanannya. Sampai di sebuah bukit dekat desa, dia berhenti sejenak. Dari atas bukit itu dilihatnya rumah Pak Kikir adalah yang paling besar dan bagus di desa itu. Sementara penduduk sekitarnya menderita karena ketamakan Pak Pelit.
Nenek pengemis itu marah, melihat kelakuan Pak Kikir. Ia berkata, “Ingat-ingatlah Pak Kikir keserakahan dan kekikiranmu akan menenggelamkan dirimu sendiri. Tuhan akan menimpakan hukuman kepadamu”.
Itulah doa si nenek tua, nenek yang telah disia-siakan oleh Pak Kikir.
Nenek tua itu lalu menancapkan tongkatnya ke tanah. Lalu dicabutnya lagi. Dari lubang bekas tancapan itu memancar air yang sangat deras. Makin lama air itu makin banyak dan mengalir menuju desa.
“Banjir!”
“Banjir!”. Teriak beberapa orang desa yang sempat melihat lebih dulu air bah itu dari atas bukit.
Penduduk desa lainnya menjadi panik melihat air bah itu.
Anak Pak Kikir segera menganjurkan para penduduk lainnya agar meninggalkan rumah mereka.
“Cepat tinggalkan desa ini, larilah kalian ke atas bukit yang aman.”
“Tapi sawah dan ternak kita?”
“Kalian harus pilih harta atau jiwa? Sudah tidak ada waktu untuk membawa harta kalian!”
Watak manusia memang sangat menyukai harta bendanya, dalam keadaan yang kritis itu masih ada saja orang yang tetap bermaksud membawa harta dan ternak mereka.
Padahal air banjir yang datang semakin besar, bahkan rumah mereka sudah terendam air setinggi lutut.
Anak Pak Kikir yang bijak itu masih terus berteriak-teriak mengingatkan penduduk desa. Ia juga membujuk ayahnya agar segera keluar dari rumah.
“Ayah, cepat tinggalkan rumah ini, kita harus segera menyelamatkan diri!”
“Apa? Lari begitu saja? Tolol! Aku harus mengambil peti hartaku yang kusaimpan di ruang bawah tanah.”
Karena tak ada waktu lagi, maka putra Pak Kikir segera berlari menyelamatkan diri. Sementara Pak Kikir masih terus mengumpulkan harta bendanya. Dia terlambat menyelamatkan diri, akhirnya tenggelam dalam arus air bah.
Sebagian besar penduduk desa dan putra Pak Kikir selamat. Mereka sedih melihat desanya tenggelam. Kemudian mereka memutuskan untuk mencari daerah baru. Mereka mengangkat putra Pak Kikir sebagai pemimpin desa baru mereka.
Putra Pak Kikir lalu menganjurkan penduduk untuk mengolah tanah yang telah dibagi rata. Pimpinan desa baru itu mengajari penduduk menanam padi dan bagaimana mengairi sawah secara baik. Desa itu kemudian disebut desa Anjuran, penduduk desa selalu mematuhi anjuran pimpinannya. Lama-kelamaan desa itu berkembang menjadi kota kecil yang disebut Cianjur. Ci berarti air. Cianjur berarti daerah yang cukup mengandung air. Anjuran pemimpin desa dijadikan pedoman para petani dalam megolah sawah. Maka hingga sekarang ini beras Cianjur dikenal enak dan gurih.